Sabtu, 06 Desember 2014

SEJARAH HABAIB ALAWIYIN

Sejarah Para Alawiyyin..
1. Ali Bin Abi Thalib
Imam Ali adalah orang yang pertama kali masuk Islam. Abu Ya’la meriwayatkan dari Ali, bahwa Ali telah berkata: “Rasulullah diutus pada hari Senin dan aku masuk Islam pada hari Selasa.”
Abdulbirr dalam kitabnya yang berjudul al-Isti’ab mengetengahkan sebuah hadits yang berasal dari Imam Ali , bahwa Rasulullah saw berkata kepada Siti Fatimah ra: ‘Suamimu adalah orang yang terkemuka di dunia dan akhirat, ia sahabatku yang pertama memeluk Islam, yang paling banyak ilmunya dan paling besar kesabarannya’
Dalam hal nasab, seperti diriwayatkan oleh Thabrani, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda: “Allah menciptakan keturunan setiap Nabi dari tulang sulbinya sendiri, namun Allah menciptakan keturunanku dari tulang sulbi Ali bin Abi Thalib.”
Hal ini diperkuat dengan hadits yang bersumber dari Umran bin Hushain, bahwa Rasulullah telah berkata: “Apakah yang kamu inginkan dari Ali, apakah yang kamu inginkan dari Ali, apakah yang kamu inginkan dari Ali? Sesungguhnya Ali dariku dan aku darinya. Ia adalah pemimpin semua orang mukmin sesudahku.”
Ibnu Abbas ra meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw menyatakan: ‘Manusia diciptakan dari berbagai jenis pohon, sedang aku dan Ali bin Abi Thalib diciptakan dari satu jenis pohon (unsur). Apakah yang hendak kalian katakan tentang sebatang pohon yang aku sendiri merupakan pangkalnya, Fatimah dahannya, Ali getahnya, al-Hasan dan al-Husein buahnya, dan para pencinta kami adalah dedaunannya! Barangsiapa yang bergelantung pada salah satu dahannya ia akan diantar ke dalam surga, dan barangsiapa yang meninggalkannya ia akan terjerumus ke dalam neraka.”
Imam Ali bin Abi Thalib wafat sebagai syahid pada hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan tahun 40 Hijriyah ketika sedang melaksanakan sholat Subuh. Beliau dikarunia lima belas orang anak laki-laki dan delapan belas orang anak perempuan:
-Hasan
-Husein Ibunya Siti Fathimah binti Rasul saw.
-Muhsin (meninggal waktu kecil)
-Muhammad al-Hanafiah (Menurut satu pendapat keluarga Ba Qasyir di Hadramaut adalah keturunannya)
-Abbas
-Usman Syahid bersama saudaranya Husein
-Abdullah Ibunya ummu Banin binti Hazam al-Kilabiyah
-Ja’far
-Abdullah
Ibunya Layla binti Mas’ud al-Nahsaly
-Abu Bakar
-Yahya
Ibunya Binti Umais al-Khosmaiy
-Aun
-Umar al-Akbar (Ibunya ummu Habibah al-Taghlibiyah)
-Muhammad al-Ausath (Ibunya Amamah binti Abi Ash)
-Muhammad al-Asghor
Kelima belas anak laki-laki tersebut sesuai dengan pendapat al-Amiri, sedangkan Ibnu Anbah menambahkan nama: Abdurahman, Umar al-Asghor dan Abbas al-Asghor. Adapun yang membuahkan keturunan ada lima, yaitu: Hasan, Husein, Muhammad al-Hanafiyah, Abbas al-Kilabiyah dan Umar al-Tsa’labiyah.
Sedangkan anak perempuannya dalam riwayat yang disepakati berjumlah 18 orang, yaitu: Zainab, Ummu Kulsum, Ruqoyah, Ummu Hasan Ramlah al-Kubra, Ummu Hanni, Ramlah al-Sughro, Ummu Kulsum al-Sughro, Fathimah, Amamah, Khadijah, Ummu Khoir, Ummu Salmah, Ummu Ja’far, Jamanah
2. Siti Fathimah al-Zahra al-Batul.
Siti Fathimah lahir satu tahun sebelum kenabian dan meninggal dunia enam bulan sesudah ayahnya Rasulullah SAW meninggal, yaitu pada malam Selasa tanggal 3 Ramadhan tahun 11 Hijriyah.
Nama Fathimah berasal dari kata Fathman yang artinya sama dengan qath’an atau man’an, yang berarti ‘memotong, memutuskan atau mencegah’. Ia dinamakan Fathimah karena Allah SWT mencegah dirinya dari api neraka, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya Fathimah adalah orang yang suci farajnya, maka Allah haramkan atas dia dan keturunannya akan api neraka.’
Al-Nasai meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya putriku Fathimah ini adalah seorang manusia-bidadari. Dia tidak haid dan tidak pula mengeluarkan kotoran. Karena itulah ia dinamakan al-Zahra atau ‘yang suci’, sebab ia tidak pernah mengeluarkan darah, baik dalam haid maupun sesudah melahirkan (nifas). Pada saat melahirkan, ia mandi dan kemudian shalat sehingga ia tidak pernah luput dari melaksanakan shalat. Adapun sebutan al-Batul baginya itu adalah karena ia merupakan wanita yang paling menonjol di masanya dalam hal keutamaan, agama dan keturunan.
Dikemukakan pula oleh al-Thabrani, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ” Tiap anak itu bernisbat kepada keturunan bapaknya, kecuali putra Fathimah, akulah wali mereka dan akulah ashabah mereka”. Dalam riwayat lain yang sahih disebutkan: “Setiap anak itu mengikuti garis keturunan bapaknya kecuali anak-anak Fathimah , sebab akulah ayah mereka dan ashabah mereka”.
3. Hasan Bin Ali Bin Abi Thalib.
Sayyidina Hasan lahir di Madinah sembilas belas hari sebelum peristiwa perang Badar. Beliau adalah cucu dan buah hati Rasulullah. Rasulullah mengakikahkan Hasan pada hari ketujuh dari kelahirannya. Sayyidina Hasan , sangat mirip sekali dengan Rasulullah, yaitu dari mulai pusarnya sampai kepalanya. Sedangkan Sayyidina Husien mirip beliau mulai dari pusar ke bawah.
Beliau hidup pada masa Rasulullah selama 8 tahun dan bersama ayahnya selama 29 tahun dan dibaiat menjadi khalifah pada tahun 41 Hijriyah ketika umur beliau 37 tahun. Beliau wafat pada tahun 49 Hijriyah dan dimakamkan di Baqi. Menurut al-Amiri, beliau dikaruniai sebelas anak laki-laki: Abdullah, Qasim, Hasan Mutsanna, Zaid, Umar, Abdullah, Abdurahman, Ahmad, Ismail, Husin dan Aqil, dan seorang anak perempuan bernama Ummu Hasan. Sedangkan yang meneruskan keturunan Imam Hasan adalah: Zaid dan Hasan Mutsanna.
4. Husein Bin Ali Bin Abi Thalib.
Sayyidina Husein (Abu Abdillah) adalah cucu dan buah hati Rasulullah. Ia lahir pada hari kelima dari bulan Sya’ban tahun keempat hijriyah.
Al-Hakim mengemukakan sebuah hadits dalam kitab sahihnya, yang bersumber dari sahabat yahya al-’Amiri, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ” Husein dariku dan aku dari Husein. Ya Allah cintailah orang yang mencintai Husein. Husein adalah salah seorang asbath.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ibnu Sa’ad, Abu Ya’la serta Ibnu Asakir dari Jabir bin Abdullah: “Saya telah mendengar Rasulullah bersabda: ‘Barangsiapa suka melihat seorang pemimpin para pemuda ahli surga, maka hendaklah ia melihat kepada Husein bin Ali.’”
Sayyidina Husein gugur sebagai syahid, pada hari Jum’at, hari kesepuluh (Asyura) dari bulan Muharram, tahun enam puluh satu Hijriyah di padang Karbala –suatu tempat di Iraq yang terletak antara Hulla dan Kuffah.
Ibnu Hajar memberitahukan sebuah hadits dari suatu sumber yang diriwayatkan dari Ali, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda ” Pembunuh Husein kelak akan disiksa dalam peti api, yang beratnya sama dengan siksaan separuh penduduk dunia.”
Abu Na’im meriwayatkan bahwa pada hari terbunuhnya Sayyidina Husein, terdengar Jin meratap dan pada hari itu juga terjadi gerhana matahari hingga tampak bintang-bintang di tengah hari bolong. Langit di bagian ufuk menjadi kemerah-merahan selama enam bulan, tampak seperti warna darah.
Sayyidina Husein sungguh telah memasuki suatu pertempuran menentang orang yang bathil dan mendapatkan syahidnya di sana. Menurut al-Amiri, Sayidina Husein dikarunia 6 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Dan dari keturunan Sayyidina Husein yang meneruskan keturunannya hanya Ali al-Ausath yang diberi gelar ‘Zainal Abidin’. Sedangkan Muhammad, Ja’far, Ali al-Akbar, Ali al-Ashgor , Abdullah, tidak mempunyai keturunan (ketiga nama terakhir gugur bersama ayahnya sebagai syahid di karbala). Sedangkan anak perempuannya adalah: Zainab, Sakinah dan Fathimah.
5. Ali Zainal Abidin.
Sayyidina Ali Zainal Abidin dilahirkan di Madinah pada hari Kamis tanggal 5 Sya’ban tahun 38 Hijriyah, yaitu pada masa pemerintahan kakeknya Ali Bin Abi Thalib.
Sayyidina Ali Zainal Abidin ialah seorang yang kekhusyu’annya dalam wudhu’, shalat dan ibadah sangatlah menakjubkan. Dalam sehari semalam ia shalat (sunnah) seribu raka’at, yang ia kerjakan sampai akhir hayatnya. Ia sangat takut kepada Allah, sampai-sampai bila ia berwudhu’ maka menjadi pucat dan gemetarlah seluruh anggota badannya. Ketika ditanya, kenapa tuan menjadi demikian? Ia menjawab: Tahukah kalian di hadapan siapakah aku akan berdiri?
Ia juga dikenal dengan sebutan al-Sajjad (yang banyak sujud). Di antara putra Sayyidina Ali Zainal Abidin ialah:
-Muhammad al-Baqir
Ibunya Fathimah binti Hasan bin Ali bin Abi
-Abdullah al-Bahir Thalib.
-Zaid (Sohibul Mazhab Syi’ah Zaidiyah, mempunyai anak Isa dan Yahya)
-Umar al-Asyrof
-Ali Ibunya bernama Zajlan
-Husein al-Ashgor (Ibunya bernama Sa’adah)
Keenam nama di atas mempunyai keturunan.
1. Husein al-Akbar
2. Qasim
3. Hasan
4. Sulaiman
5. Abdurahman.
Sayyidina Ali Zainal Abidin wafat pada tahun 94 Hijriyah, dalam usia 58 tahun dan dimakamkan di Baqi’.
6. Muhammad al-Baqir.
Beliau dilahirkan pada tahun 59 Hijriyah di Madinah.Imam Muhammad al-Baqir adalah seorang ‘arif billah yang sangat luas ilmunya. Ia mendapatkan gelar ‘al-Baqir’ karena ia telah baqqara (membelah) ilmu, sehingga ia dapat mengetahui asal dan rahasia ilmu. Masa kehidupannya penuh dengan pekerjaan-pekerjaan besar, di antaranya dibukanya lembaga-lembaga keilmuan, pembahasan ilmiah dan sastra. Berdasarkan ijma’ Bukhari dan Muslim putera Muhammad al-Baqir,empat orang yaitu:
1. Ja’far al-Shodiq
2. Abdullah
3. Ibrahim
4. Keduanya (2 dan 3) meninggal di waktu kecil
5. Zaid ( tidak mempunyai keturunan)
6. Ali
7. Abdullah
Keturunan Muhammad al-Baqir hanya melalui Ja’far al-Shadiq. Maka orang yang mengaku bernasab kepada Muhammad al-Baqir tanpa melalui Ja’far al-Shadiq adalah seorang pendusta.
7. Ja’far al-Shadiq.
Asy-Syarif Ahmad bin Muhammad Sholih al-Baradighi mengatakan bahwa nasab para sayyid/ syarif di Hadramaut berpangkal pada nasab Imam Ja’far al-Shadiq melalui Muhammad bin Ali Uraidhi. Ia diberi gelar gelar ‘al-Shadiq’ karena kebenarannya dalam kata-katanya. Ia juga diberi nama ‘ Amudusy-Syaraf ‘ (tiang kemuliaan).
Ibundanya ialah Furwah binti Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar al-Shiddiq. Sedangkan ibunda Furwah ialah Asma binti Abdurahman bin Abu Bakar al-Shiddiq. Ia pernah berkata: Aku dilahirkan al-Shiddiq dua kali!. Imam Ja’far al-Shaddiq mempunyai anak:
Abdullah
Abbas
Yahya
Muhsin Tidak mempunyai keturunan
Ja’far
Hasan
Muhammad al-Ashgor
Sedangkan yang memberi keturunan:
1. Ismail (Sohibul Mazhab Syi’ah Ismailiyah)
2. Muhammad al-Akbar (gelarnya al-Dibaj)
3. Ishaq (gelarnya al-Mu’taman)
4. Musa al-Kadzim
5. Ali (gelarnya al-Uraidhi)
Imam Ja’far Ash-Shaddiq wafat pada tahun 148 Hijriyah.
8. Ali al-Uraidhi.
Beliau diberi gelar al-Uraidhi sebagai nisbah kepada al-Uraidh yaitu nama suatu negeri yang terletak pada jarak 4 mil dari kota Madinah al-Munawwarah. Imam Ali al-Uraidhi adalah putera terkecil dari Imam Ja’far al-Shaddiq. Bersama saudaranya Muhammad bin Ja’far al-Shaddiq, pergi ke Mekkah di mana ia mengadakan pergerakan di sana.. Imam Ali al-Uraidhi mempunyai putera: Husein, Ja’far al-Akbar, Ja’far al-Ashgor, Isa, Qasim, Ali, Hasan, Ahmad dan Muhammad (gelarnya al-Naqib)
9. Muhammad al-Naqib.
Ia adalah Abu Isa Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Imam Ja’far al-Shaddiq. Ia tinggal di Basrah, demikian juga anaknya Isa. Di sana pula Imam Ahmad al-Muhajir dilahirkan dan dibesarkan. Keturunan Imam Muhammad al-naqib ialah: Isa (gelarnya Ar-Rummi),Yahya, Hasan, Musa, Ja’far, Ibrahim, dan Ishaq dan Ali. Imam Muhammad al-Naqib wafat pada tahun 334 Hijriyah.
10. Isa al-Rummi.
Beliau ialah Abu Ahmad Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Imam Ja’far al-Shaddiq. Imam Isa Ar-Rummi mempunyai 30 orang anak lelaki diantaranya adalah Imam Ahmad al-Muhajir yang merupakan nenek moyang kaum Alawiyin di Hadramaut. Adapun anak-anak Imam Isa al-Rummi adalah:
1. Abdullah, Abdurahman, Abdullah al-Akbar, Abdullah al-Ahwal, Abdullah al-Asghor, Daud, Yahya, Ali, Abbas, Yusuf, Hamzah, Sulaiman. Mereka tidak mempunyai keturunan.
2. Ismail, Zaid, Qasim, Hamzah, Harun, Yahya, Ali, Musa, Ibrahim, Ja’far, Ali al- Asghor, Ishaq, Husin, Abdullah, Muhammad, Isa, Ahmad al-Muhajir.
11. Ahmad bin Isa.
Beliau dilahirkan pada tahun 260 Hijriyah. Di namakan al-Muhajir, karena beliau hijrah dari Iraq ke Hadramaut sebagaimana kakeknya Rasulullah hijrah dari Mekkah ke Madinah. Sebelum hijrah ke tujuan akhirnya Hadramaut, beliau tinggal di Madinah selama satu tahun kemudian ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Dari Mekkah beliau pergi ke Hajrain, kemudian ke Husaisah yang jaraknya setengah marhalah dari Tarim.
Imam al-Muhajir adalah orang pertama yang datang ke Hadramaut berserta keluarganya yang berjumlah 70 orang. Ikut serta dalam perjalanan beliau anaknya yang bernama Ubaidillah dan ketiga cucunya Alwi, Jadid dan Basri. Imam Ahmad al-Muhajir wafat pada tahun 345 Hijriyah, dan dikarunia keturunan:
1. Muhammad ( Keturunannya tersebar di negri Baghdad )
2. Abdullah / Ubaidillah ( Abu Alawy ).
12. Ubaidillah bin Ahmad.
Imam Ubaidillah bin Ahmad mempunyai tiga orang anak, yaitu: Alwi, Jadid dan Basri. Salah satu keturunan dari Sayid Basri adalah al-Arif billah Syaikh Salim bin Basri, meninggal di Tarim tahun 604 Hijriyah dikuburkan sebelum maqam Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Di antara keturunan dari Sayid Jadid adalah al-Imam al-Muhaddits al-Faqih al-Hafidz Abi Jadid Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Jadid meninggal di Mekkah tahun 630 Hijriyah.
Keturunan Sayid Jadid dan sayid Basri terputus pada awal-awal kurun ke tujuh hijriyah. Sedangkan Sayid Alwi, keturunannya tersebar di Hadramaut yang sekarang dikenal dengan keluarga Abi Alawy dimana nama tersebut dinisbahkan kepada nama kakeknya.
13. Alwi bin Ubaidillah.
Beliau dilahirkan di Hadramaut, dan yang pertama kali dinamakan Alwi. Keturunannya tersebar ke penjuru negeri, sedangkan keturunan saudaranya terputus pada awal kurun ke tujuh hijriyah. Imam Alwi bin Ubaidillah hanya mempunyai satu orang anak bernama Muhammad.
14. Muhammad bin Alwi.
Beliau dilahirkan di Sumul pada tahun 390 Hijriyah. Dari Sumul beliau pindah ke Bait Jubair dan mempunyai tanah pertanian yang luas. Beliau seorang yang alim, soleh, menguasai ilmu fiqih, hadits dan tasawuf. Imam Muhammad bin Alwi wafat pada umur 56 tahun di bait Jubair dan dikarunia satu orang anak yang bernama Alwi.
15. Alwi bin Muhammad.
Imam Alwi bin Muhammad lahir di Bait Jubair yang mempunyai hawa yang sejuk dan air yang segar. Beliau adalah seorang yang soleh, alim dan berjalan pada rel Alquran dan Hadits. Imam Alwi wafat di Bait Jubair tahun 512 Hijriyah dan dikarunia dua orang anak: Salim (tidak mempunyai keturunan) dan Ali (yang dikenal dengan Khali’ Qasam).
16. Ali Khali’ Qasam bin Alwi.
Imam Ali diberi gelar Khali’ Qasam sebagai nisbah kepada negeri Qasam yang merupakan tempat mereka di negeri Basrah, di mana dari tempat itu ia mendapat harta dan membeli tanah di dekat kota Tarim di Hadramaut dengan harga 20.000 dinar dan ditanami pohon kurma untuk mengenang kota Qasam di Basrah yang pada awalnya dimiliki oleh kakeknya al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa. Beliau adalah orang yang pertama dimakamkan di perkuburan Zanbal, Tarim dan dikaruniai tiga orang anak: Abdullah dan Husin ( tidak mempunyai keturunan) serta Muhammad ( dikenal dengan Shahib Mirbath ).
17. Muhammad Shahib Mirbath.
Yang pertama kali dijuluki ‘shahib marbat’ adalah al-Imam Waliyullah Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Soal gelar ‘Shahib Mirbat’ , karena beliau bermukim di suatu tempat yang disebut Mirbat di Dhafar setelah pindah dari Tarim. Sedangkan kata shahib yang sinonimnya kata ‘maula’ berarti seseorang yang bermukim atau berkuasa di suatu tempat. Waliyullah asy-syaikh al-Imam Muhammad Shahib Marbat dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai 4 orang anak laki-laki. Masing-masing bernama Abdullah, Ahmad, Alwi dan Ali. Abdullah dan Ahmad tidak menurunkan keturunan beliau. Sedangkan Alwi dan Ali yang menurunkan keturunan beliau (akan dijelaskan lebih lanjut). Sebagaimana disebut oleh penulis buku al-Masyra’ al-Rawy, Sayyid Muhammad bin Ali adalah Syaikh Masyayikhil Islam (guru besar luar biasa ilmu agama Islam) dan ‘Ilmul-’Ulama al-A’lam (Ilmunya kaum ulama kenamaan). Selanjutnya penulis buku tersebut mengatakan: ” Seorang ulama ahli syariat dan thariqat dan guru besar terkemuka bagi kaum penghayat ilmu hakikat, ahli fiqih dan mufti negeri Yaman, seorang penasihat berbagai cabang ilmu dan pengetahuan agama di negeri itu …”. Menyusul kemudian dua orang putera Sayyid Muhammad bin Ali yang pertama ialah Ali, ayah al-Ustadz al-A’dham al-Faqih al-Muqaddam dan yang kedua ialah Alwi, yang terkenal dengan sebutan ‘Ammul al-Faqih al-Muqaddam. Dua orang itulah yang menjadi pangkal keturunan semua Sayyid kaum Alawiyin. Waliyullah al-Imam Muhammad Shahib Marbat wafat di Marbad pada tahun 556 hijriah.
18. Alwi (Ammu al-Faqih)
Waliyullah asy-syaik al-Imam Alwi bin Muhammad Shahib Marbat dijuluki ‘Ammi al-Faqih’ karena beliau adalah paman dari waliyullah al-Ustadz al-Mu’adzom Muhammad al-Faqih al-Muqaddam (satu-satunya anak lelaki dari Imam Ali bin Muhammad Shahib Marbad). Imam Alwi bin Muhammad Shahib Marbad dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai 4 orang anak lelaki, masing-masing bernama:
1. Abdul Malik, yang keturunannya hanya berada di India dikenal dengan al-Azhamat Khan, yang menurunkan leluhur Wali Songo di Indonesia.
2. Abdullah
3. Abdurahman.
4. Ahmad.
Waliyullah Imam Alwi bin Muhammad Shahib Marbad wafat di kota Tarim pada th 613 Hijriyah.
19. Ali Bin Muhammad Shahib Mirbath.
Waliyullah Asy-syaikh al-Imam Ali bin Muhammad Shahib Marbad dilahirkan di Tarim Hadramaut. Beliau hanya dikarunia seorang anak lelaki yaitu al-Ustadz al-Mu’adzom Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Dari satu-satunya anak lelaki beliau tersebut dapat menurunkan keturunan beliau sebanyak kurang lebih 75 leluhur Alawiyin. Waliyullah Imam Ali bin Muhammad Shahib Marbad wafat di kota Tarim pada tahun 593 hijriah.
20. Muhammad Bin Ali (al-Faqih al-Muqaddam)
Yang pertama kali dijuluki ‘al-Faqih al-Muqaddam’ adalah waliyullah Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Marbad. Soal gelar yang disandangnya, karena waliyullah Muhammad bin Ali seorang guru besar yang menguasai banyak sekali ilmu-ilmu agama diantaranya ilmu fiqih. Salah seorang guru beliau Ali Bamarwan mengatakan, bahwa beliau menguasai ilmu fiqih sebagaimana yang dikuasai seorang ulama besar yaitu al-Allamah Muhammad bin Hasan bin Furak al-Syafi’i', wafat tahun 406 Hijriah. Sedangkan gelar al-Muqaddam di depan gelar al-Faqih yang berasal dari kata Qadam yang berarti lebih diutamakan, dalam hal ini waliyullah Muhammad bin Ali sewaktu hidupnya selalu diutamakan sampai setelah beliau wafat maqamnya yang berada di Zanbal Tarim sering diziarahi kaum muslimin sebelum menziarahi maqam waliyullah lainnya.Waliyullah Muhammad bin Ali dilahirkan di kota Tarim, beliau anak laki satu-satunya dari Imam Ali bin Muhammad Shahib Marbad yang menurunkan 75 leluhur kaum Alawiyin, sedangkan Imam Alwi bin Muhammad Shahib Marbad menurunkan 16 leluhur Alawiyin. Sayyid Muhammad bin Ali yang terkenal dengan nama al-Faqih al-Muqaddam ialah sesepuh semua kaum Alawiyin. Beliau dilahirkan pada tahun 574 H di Tarim. Beliau seorang yang hafal al-quran dan selalu sibuk menuntut berbagai macam cabang ilmu pengetahuan agama hingga mencapai tingkat sebagai mujtahid mutlak. Mengenai Imam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, Sayyid Idrus bin Umar al-Habsyi dalam kitabnya Iqdul Yawaqiet al-Jauhariyah mengatakan: ” Dari keistimewaan yang ada pada Sayyidina al-Faqih al-Muqaddam adalah tidak suka menonjolkan diri, lahir dan batinnya dalam kejernihan yang ma’qul (semua karya pemikiran) dan penghimpun kebenaran yang manqul (nash-nash Alquran dan Sunnah). Penulis buku al-Masyra’ al-Rawy berkata: “Beliau adalah seorang mustanbith al-furu’ min al-ushul (ahli merumuskan cabang-cabang hukum syara’ yang digali dari pokok-pokok ilmu fiqih. Ia adalah Syaikh Syuyukh al-syari’ah (mahaguru ilmu syari’ah) dan seorang Imam ahli hakikat, Murakiz Dairah al-Wilayah al-Rabbaniyah, Qudwah al-’Ulama al-Muhaqqiqin (panutan para ulama ahli ilmu hakikat),Taj al-A’imah al-’Arifin (mahkota para Imam ahli ma’rifat) dan dalam segala kesempurnaannya beliau berteladan kepada Amir al-Mukminin (Imam Ali bin Abi Thalib). Thariqahnya adalah kefakiran yang hakiki dan kema’rifatan yang fitrah.” Imam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, wafat di kota Tarim tahun 653 hijriah.

Selasa, 02 Desember 2014

Mimpi Habibana Aly Aljufri

"Perjumpaan Habib Ali al Jufri dengan Pelukis karikatur Nabi Muhammad Saw"
Diceritakan oleh Ustaz Iqbal Zain Al-Jauhari mengenai perjumpaan al-Habib Ali al-Jufri dengan pelukis Gambar Nabi yang sempat menghebohkan beberapa tahun yang lalu.
Suatu ketika beliau Al Habib mendapatkan undangan dari negara Denmark untuk berkenan menghadiri satu majelis/acara disana.
Saat beliau hadir di acara tersebut, ternyata hadir pula seorang tamu yang dahulu pernah melukis gambar kartun Nabi MUHAMMAD sallallallohu alaihi wa sallam dengan penuh penghinaan. Lalu Habib Ali al-Jufri diajak dan dipertemukan kepada pelukis kartun Nabi tersebut.
Tatkala beliau bertemu dengannya, Habib Ali pun tersenyum dan bersalaman dengannya lalu mengatakan,
"Ahlan wa Sahlan! Bagaimana kabar kamu? Bagaimana kabar keluarga kamu? Sehatkah?" Sambil tersenyum Habib Ali menanyakan hal tersebut.
Lalu Sipelukis itu berkata, "Ya Syaekh, kenapa anda masih bersikap baik/sopan kepadaku, padahal Anda sudah tau bahwa aku telah melukis dengan penuh penghinaan atas Rasulmu, Muhammad?"
Kemudian Habib Ali al-Jufri menjawab, "Sekiranya kamu tau dan mengenali siapa Rasulku "MUHAMMAD SAW" maka kamu tidak akan menghinanya dengan begitu. Jika kamu kenal siapa Rasulku MUHAMMAD Saw yang sebenarnya, niscaya kamu akan jatuh cinta kepadanya." Masyaallah.
Lantas si pelukis itu pun terkejut dan berkata, "Jika akhlak keturunannya saja sudah begini budi pekertinya, bagaimana dengan akhlak datuknya, bagaimana akhlak keturunannya hingga kepada Rasulnya. Inilah akhlak daripada agama yang dibawa oleh Rasulnya. Sudah tentu ini adalah sebuah agama yang berakhlak." Subhanalloh.
Disini kita bisa mengambil pelajaran betapa budi pekerti yang luhur (akhlak dan adab) dapat menarik hati orang yang bukan Islam agar pula menghormati orang Islam.
Mustahil orang yang kenal dengan Baginda Rasulillah MUHAMMAD Shallahu Alaihi Wassalam, tidak jatuh cinta kepada Baginda.
Semoga Allah Swt mendidik hati kita dengan acuan akhlaknya Sayyidul Mursalin, akhlaknya Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam.. Aamiin Allahuma Aamiin.
اللهم صل على سيدنا محمد طب القلوب ودوائها، وعافية الأبدان وشفائها، ونور الأبصار وضيائها وقوت الأرواح وغذائها وعلى آله وصحبه وسلم، في كل لمحة ونفس بعدد ما وسعه علم الله.

Senin, 01 Desember 2014

Doa orang tua Lebih Afdhol Dari Wali Besar

Sayyidi'l Habib Al Imam Salim Bin
Abdullah Bin Umar Asy-Syatiri,

Setiap orang yang datang menghadap
Habib Salim atau Habaib sepuh yang
alim di tarim untuk minta di doakan
selalu mendapat pertanyaan yang
sama, 'apakan kamu masih memiliki
permata di rumahmu?' (Ibu), kalau di
jawab ya, maka mereka dengan halus
akan mengatakan, 'tahukah kamu,
bahwa doa ibu untukmu, lebih mulia
dan makbul daripada doa seorang
wali besar sekalipun?'
ketika habib Umar Bin Hafidz dan
abangnya Habib Ali Masyhur masih
bayi dan sering menangis, ibunda
mereka Hubabah Zahra, akan memeluk
dan membelai anak anaknya sambil
mengusap kepala mereka, kepada
habib Ali masyhur beliau sering
berbisik, mufti, mufti, dan sekarang
Habib Ali masyhur telah menjadi mufti
yaman,
kepada habib umar sang ibu selalu
berdoa 'da'i, da'i, dan hari ini Habib
Umar telah menjelma menjadi Da'i
paling besar di dunia islam zaman
ini..
Subhanalloh...
DAHSYATnya doa seorang ibu.
(Buat calon ibu dan sudah menjadi ibu dari anak2nya
berkatalah yg baik kpd anak2nya perkataanmu kpd anak
adalah doa)

Senin, 24 November 2014

dawuhe Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani

Pentingnya Sanad: Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani حفظه الله

Nasihat Sayyidi asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani dalam Majlis Pembacaan Hadits Shahih al-Bukhari oleh Syeikh Muhammad 'Iwadh حفظهما الله, di Madinah Nashr Hay 10 Bawabah 2 Kaherah, Mesir pada hari Khamis 20 April 2011. Diterjemah oleh Ustaz Muhammad Haris F.Lubis.


Majlis Hadits Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم adalah Nur (cahaya)

قد جاء كم من الله نور و كتاب مبين

"Sungguh telah datang kepadamu daripada Allah nur dan kitab yang terang." (al-Maidah: 15)

Sayyiduna Ibnu Abbas رضي الله عنهما berkata: "Kitab yang terang itu kita telah tahu bahwa ia adalah al-Qur’an, lalu apakah nur itu? Itulah dia Sayyiduna Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم.

Al-waw (و) dalam bahasa ‘arab datang dengan maksud mughayarah dan bukan mujanasah. Oleh kerana itulah Sayyiduna Ibnu Abbas رضي الله عنهما menafsirkan dengan Sayyiduna Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم dan bukan kitab al-Qur’an itu sendiri.


Maka jika kamu membaca hadits Nabi صلى الله عليه وآله وسلم, hadirkanlah Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم sedang duduk berbicara bersama kamu, bukan secara syakliyah (bentuk) kerana hudhur yang sempurna itu bukan dengan syakliyyah, tetapi dengan qalbiyyah. Dari sinilah para ahlus sanad dan riwayat sangat 'tamak' untuk membaca Syama'il Muhammadiyah. Jadi saya anjurkan kepada Sidi Muhammad 'Iwadh untuk membacakan kepada kalian Syama'il dengan bacaan yang tauqifiyah, i'tibariyah dan ittishofiyah, maksud saya adalah kalian membacanya dengan menghadirkan Nabi صلى الله عليه وآله وسلم di depan mata kalian seolah-olah kalian lagi duduk bersama Nabi صلى الله عليه وآله وسلم hingga akhirnya kalian memiliki adab yang sempurna terhadap hadhrah nabawiyyah. Inilah nanti yang akan meyakinkan kalian bahwa kalian meriwayatkan hadits dengan sanad; bahwa kalian betul-betul meriwayatkan hadits dari periwayat dari periwayat dari periwayat dan begitu seterusnya hingga sampai kepada mulut Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم yang mulia.

Oleh kerana itulah membaca sirah dan Syamail Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم itu sangat penting bagi ahlu sanad dan riwayat, agar apa? Agar mereka tenggelam dalam hadhrah nabawiyah, suatu rasa kehudhuran bersama Nabi صلى الله عليه وآله وسلم, bukan dalam ertikata kamu harus menyentuhnya secara syakliyyah, tetapi bersatunya dua sifat dalam satu akhlak, adab dan kesempurnaan صلى الله عليه وآله وسلم. Ya Salam…jamil jiddan..

Banyak orang bertanya kepada saya: "Ya Tuan, apa yang harus saya lakukan ketika saya melihat orang mengaku selalu bersama Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم?" Saya jawab: mengapa mesti hairan? Sebagaimana kamu merasa dekat bersama Allah. Apakah Allah jauh, hingga kamu perlu memanggilnya dengan suara yang keras (nyaring)?! Allah Ta'ala berfirman:

و هو معكم أين ما كنتم

"Dan Allah (yakin ilmuNYA) bersama kamu dimanapun kamu berada" (al-Hadid: 4)

Maka begitupulalah kamu bersama Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Bukanlah maksudnya sebagaimana yang difahami oleh orang-orang sufaha' bahwa kebersamaan di sini adalah perkara hissiyah (dapat diraba), tetapi ini adalah perkara sulukiyah (ruhani).

Sekarang saya akan berbicara tentang sanad Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Ahlus sanad telah menjaga turots-turots daripada pemalsuan dan penipuan hingga sampai kepada kita dalam keadaan yang baik. Sanad inilah yang menjadi khushushiyyat (keistimewaan) Sayyiduna Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم, bahkan sanad ini belum dikenal dalam kitab-kitab samawiyah para nabi sebelum junjungan Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم, sementara Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم dalam kitab al-Qur’annya terdapat sanad qira’at dan di dalam hadits-haditsnya terdapat sanad riwayat, maka khushushiyyat Nabi Muhammad ini juga menjadi khushushiyat bagi umatnya dimana umat-umat sebelumnya tidak pernah merasakan adanya sanad. Ini adalah pembuktian kebenaran firman Allah Ta'ala:

إن نحن نزلنا الذكر و إنا له لحافظون

"Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Qur’an dan Kamilah yang akan benar-benar menjaganya." (al-Hijr: 9)

Banyak orang menyangka bahwa ayat itu hanya untuk al-Qur'an sahaja …. tidak, ayat itu tidak hanya untuk al-Qur’an, tetapi juga untuk hadits-hadits Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Jika Allah hendak menjaga al-Qur’an maka sudahlah pasti hadits-hadits Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم juga harus terjaga, kerana hadits adalah penjabaran terhadap makna-makna al-Qur’an.

Kemudian apakah keterjagaan (al-hifzh) ini hanya melalui hafazhan sahaja? Tentu tidak, tetapi juga melalui sanad. Maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan.

Wallahu a'lam

Biodata Syeikh As-Syarif Al-Habib Yusuf Muhyiddien Al-Bakhour Al-Hasani

Biodata Syeikh As-Syarif Al-Habib Yusuf Muhyiddien Al-Bakhour Al-Hasani

 
 
 
 
 
Sheikh As-Syarif Al-Imam Yusuf Muhyiddin Riq El-Bakhur Al-Hasani.
KELAHIRAN DAN KEHIDUPAN BELIAU:
Beliau berketurunan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein r.a., kedua-dua cucu kesayangan Rasulullah s.a.w. Beliau dilahirkan di Aka, Lubnan. Kini, beliau tinggal di Lubnan dan Kanada.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN BELIAU:
Pada awalnya, beliau menuntut di Lubnan. Seterusnya, beliau melanjutkan pengajiannya di Institut Fiqh (Islamic Study) pada tahun 1974 dalam bidang Ijazah Sarjana Muda. Beliau juga turut mengambil pengajian Sarjana Muda di Al-Azhar dan tamat pada tahun yang sama, dalam bidang Al-Syariah wa Al-Qonun. Beliau melanjutkan Ijazah Sarjana di Al-Azhar dalam bidang Al-Syariah wa Al-Qonun dan tamat pada tahun 1989. Seterusnya, beliau dianugerahkan ijazah Kedoktoran (Ph.D) Kerhormat daripada Universiti Islam Lubnan pada tahun 1991.
ANTARA GURU-GURU BELIAU:
Beliau mengambil tarbiah sufiyah secara khusus dari As-Sheikh Al-Mursyid Sidi Abdul Qadir Isa r.a. yang merupakan mursyid bagi Tarikat As-Syazuliyah Ad-Darqowiyah. Setelah dilihat kelayakan Sheikhuna Sidi Yusuf Al-Hasani, dalam memikul tugas sebagai mursyid, maka Sidi Sheikh Abdul Qadir Isa r.a. memberi izin wirid ‘am dan khas tarikat As-Syazuliyah dan izin irsyad dan tarbiah kepada beliau. Sheikh Yusuf merupakan khalifah Sheikh Abdul Qadir Isa r.a. yang termuda dari kalangan keempat-empat khalifah beliau. Sheikhuna Sidi Yusuf Al-Hasani pernah dibawa oleh Sheikh Abdul Qadir Isa r.a. untuk bertemu dengan guru beliau sendiri iaitu Sheikh Muhammad Al-Hasyimi. Sheikh Muhammad Al-Hasyimi turut memberi izin wirid am dan khas tarikat As-Syazuliyah kepada Sheikhuna Sidi Yusuf Al-Hasani r.a.. Sheikhuna Yusuf Al-Hasani bersahabat dengan Sheikh Abdul Qadir Isa sehinggalah ke hujung hayat Sheikh Abdul Qadir Isa r.a.. Setelah kewafatan Sheikh Abdul Qadir Isa r.a., Sheikhuna Yusuf juga turut mencari mursyid lain sebagai tabarruk dan merasakan diri masih lagi memerlukan tarbiah dari seorang mursyid, walaupun pada ketika itu, beliau sudahpun mendapat izin sebagai seorang mursyid. Sheikhuna Sidi Yusuf Al-Hasani mengambil bai’ah tabarruk dari Sheikh Sa’duddin Murod, yang merupakan khalifah utama Sheikh Abdul Qadir Isa r.a.. Sheikh Sa’duddin Murod turut memberikan kepada Shiekh Yusuf Al-Hasani izin tarbiah khalwah dan izin wirid am dan khas tarikat As-Syazuliyah. Bukan sekadar itu sahaja, malah Sheikhuna Sidi Yusuf Al-Hasani turut menemui Sheikh Al-Habib Abdul Qadir As-Saggaf untuk mengambil bai’ah tarikat daripada beliau seterusnya menjadi murid beliau. Sheikh Abdul Qadir As-Saggaf lantas memberi kepada Sheikhuna Yusuf Al-Hasani, izin irsyad tarikat As-Syazuliyah, kerana melihat keahlian yang dimiliki oleh Sheikhuna Yusuf. Di samping itu juga, Sheikhuna Sidi Yusuf Al-Hasani mengambil bai’ah tarikat daripada beberapa mursyid tarikat berlainan lantaran itu, turut menerima izin irsyad dari mursyid-mursyid tarikat tersebut. Antara mursyid-mursyd tersebut adalah:
1. Sheikh Soleh Farfur (tarikat As-Syazuliyah juga)
2. Sheikh Sayyid Muhammad bin Sayyid ‘Alawi Al-Maliki (tarikat Alawiyah)
3. Sheikh Uthman Sirajuddin An-Naqsyabandi (tarikat An-Naqsyabandiyah)
4. Sheikh Muhammad Na’im Al-Jailani Al-Asyarafi (tarikat Al-Qadiriyah)
5. Sheikh Muhammad Zaki Ad-Din Ibrahim (tarikat Asyirah Muhammadyah)
6. Sheikhuna Sidi Yusuf Al-Hasani juga meriwayatkan hadis-hadis musalsal dan sanad-sanad hadis dan ilmu agama secara umum dari Sheikh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki r.a. dan Sheikh Muhammad Zaki Ibrahim.
AKTIVITI-AKTIVITI BELIAU:
*Pengarah Yayasan Islam Kanada, di Hamilton, Kanada pada tahun 1981 sehingga hari ini.
*Pensyarah di Universiti Islam Lubnan.
*Ahli JawatanKuasa Majlis Fatwa Lubnan.
*Anggota Majlis Ulama’ di Syria.
*Seorang pendakwah peringkat antarabangsa (Syam, Kanada, Mesir, Jepun dan AsiaTenggara).
*Mursyid atau Sheikh Tarikat Al-Asyirah Al-Muhammadiyah di Hamiton, Kanada.
*Murobbi Tasauf khususnya dalam Tarikat Syazuliyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Darqowiyah, Alawiyah dan sebagainya.
*Pengasas Dar El-Hasani Center, iaitu tempat perhimpunan anak-anak murid beliau di Mesir.
*Penasihat Kehormat Institut Pengajian Ar-Razi, Pulau Pinang, Malaysia
Kewargaan: Libanon
T. Tgl Lahir: Libanon pada Tahun 1948.
Pendidikan:
*Menyelesaikan Pendidikan Tingkat Atas di Libanon 1967 M
*Menyelesaikan Pendidikan pada Institut Hukum Islam di Fakulti Syariah Islam di Universiti Islam Syria 1974 M
*Menyelesaikan Pendidikan Hukum Islam dan Hukum Sivil internasional pada Fakulti Syari’ah Islam dan Hukum Universiti Al-Azhar 1989 M
Jabatan :
*Terpilih sebagai Guru Besar sekaligus wakil Mufti pada Lembaga Fatwa di Libanon 1975 – 1982 M
*Imam Masjid di Hamilton Canada Amerika Utara 1982 -1986 M
*Pembimbing Spiritual (Murobi) pada 2 Masjid Bosnia & Hamilton di Toronto, di samping pada berbagai Komuniti Muslim di Amerika Utara 1992 M
Jabatan lainnya :
*Terpilih sebagai da’i kehormatan dan Penasihat umum dalam bidang hukum agama dan moral Islam di seluruh komuniti muslim di Amerika Utara.
*Diangkat sebagai khotib Besar di Masjid Agung di Beirut Libanon.
*Pensyarah Fikih Ushul Fikih di Universiti Al-Azhar.
*Penasihat dan Pembimbing spiritual Tasawwuf dan Studi Islam di Universiti Al Razi Malaysia.
*Da’i kehormatan negara-negara Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Singapore, Brunei, Japan dan lain-lain.
*Pimpinan Umum Persatuan Da’i Tasawuf internasional.

Al Waly Qutub Al-Habib abdul Qodir bin ahmad Assegaf

KISAH KAROMAH AL HABIB ABDUL QODIR BIN AHMAD ASSEGAF



Kisah ini diceritakan langsung dari Guru Mulia Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Syaikh Abubakar bin Salim tatkala di Wisma DPR RI Bogor pada hari Kamis, 24 Muharram 1435 / 28 Nov 2013.
¤¤¤

Dikatakan oleh Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya'roni: 

"Seseorang akan bisa mendengar ucapan Rasulullah SAW secara langsung tentulah ia telah mencapai 79 ribu maqam dan berhasil menghilangkan 247 ribu hijab dalam hatinya."

Guru Mulia Al-Musnid Al-Habib Umar bin Hafidz menceritakan sosok gurunya, Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah. Suatu ketika ada seorang muhibbin datang kepada Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf seraya berkata:

"Wahai Habib, sudah bertahun-tahun aku ikut ta'lim denganmu. Dan sudah lama pula aku rindu ingin bertemu Rasulullah SAW. Namun hingga saat ini keinginanku tersebut belum dikabulkan Allah SWT. Aku ingin engkau berkenan menjadi wasilahku bertemu dengan Rasulullah SAW."

Mendengar permohonan si muhibbin tadi, Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf mengajaknya ziarah ke makam Rasulullah SAW. Tatkala sudah tiba di makam Sang Rasul SAW, beliau membaca salam dan beberapa aurod. 

Tak berapa lama Rasulullah SAW menjawab salam dari Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf. Bahkan Rasulullah SAW nampak keluar dari pusaranya yang mulia tersebut.

Mendengar jawaban salam dan melihat Rasulullah SAW, si muhibbin gemetar seakan tak bisa mengendalikan dirinya, serasa tubuhnya akan luluh lantak menatap keindahan wajah Rasul SAW. Akhirnya Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf memegangnya sehingga ia mampu mengendalikan dirinya..

Subhanallah..

Semoga Allah membuka segala macam hijab dan memperkenankan kita untuk memandang keindahan wajah mulia Rasulullah saw baik di dunia maupun di akherat..
آمين اللهم آمين يارب العالمين

Shobahul kheir..
Baarakallah fiikum..

Habib Zein Bin Smith

Biografi Habib Zein bin Ibrahim bin Smith

habib zein bin smithHabib Zain lahir di ibukota Jakarta pada tahun 1357 H/1936 M. Ayahnya Habib Ibrahim adalah ulama besar di bumi Betawi kala itu, selain keluarga, lingkungan tempat di mana mereka tinggal pun boleh dikatakan sangat religius.
Guru-gurunya ialah Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz, Habib Umar bin Alwi al-Kaf, Al-Allamah Al-Sheikh Mahfuz bin Salim, Sheikh Salim Said Bukayyir Bagistan, Habib Salim bin Alwi Al-Khird, Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aydrus, Habib Muhammad Al-Haddar (mertuanya).
pada usia empat belas tahun (1950), ayahnya memberangkatkan
Habib Zain ke Hadramaut, tepatnya kota Tarim. Di bumi awliya’ itu Habib Zain tinggal di rumah ayahnya yang telah lama ditinggalkan.
Menyadari mahalnya waktu untuk disia-siakan, Habib Zain berguru kepada
sejumlah ulama setempat, berpindah dari madrasah satu ke madrasah
lainnya, hingga pada akhirnya mengkhususkan belajar di ribath Tarim.
Di pesantren ini nampaknya Habib Zain merasa cocok dengan keinginannya.
Di sana ia memperdalam ilmu agama, antara lain mengaji kitab ringkasan
(mukhtashar) dalam bidang fikih kepada Habib Muhammad bin Salim bin
Hafidz, di bawah asuhan Habib Muhammad pula, Habib Zain berhasil menghapalkan
kitab fikih buah karya Imam Ibn Ruslan, “Zubad”, dan “Al-Irsyad” karya
Asy-Syarraf Ibn Al-Muqri.
Tak cukup di situ, Habib Zain belajar kitab “Al-Minhaj” yang disusun oleh
Habib Muhammad sendiri, menghapal bait-bait (nazham) “Hadiyyah
As-Shadiq” karya Habib Abdullah bin Husain bin Thahir dan lainnya.
Dalam penyampaiannya di Tarim beliau sempat berguru kepada sejumlah
ulama besar seperti Habib Umar bin Alwi Al-Kaf, Syekh Salim Sa’id
Bukhayyir Bagitsan, Habib Salim bin Alwi Al-Khird, Syekh Fadhl bin
Muhammad Bafadhl, Habib Abdurrahman bin Hamid As-Sirri, Habib Ja’far bin
Ahmad Al-Aydrus, Habib Ibrahim bin Umar bin Agil dan Habib Abubakar
bin Abdullah Al-Atthas.
Selain menimba ilmu di sana Habib Zain banyak mendatangi majlis para
ulama demi mendapat ijazah, semisal Habib Muhammad bin Hadi Assaqof,
Habib Ahmad bin Musa Al-Habsyi, Habib Alwi bin Abbas Al-Maliki,
Habib Umar bin Ahmad bin Smith, Habib Ahmad Masyhur bin Thaha
Al-Haddad, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assaqof dan Habib Muhammad bin
Ahmad Assyatiri. Melihat begitu banyaknya ulama yang didatangi, dapat
disimpulkan, betapa besar semangat Habib Zain dalam rangka merengkuh ilmu
pengetahuan agama, apalagi melihat lama waktu beliau tinggal di sana,
yaitu kurang lebih delapan tahun.
kemudian salah seorang gurunya bernama Habib
Muhammad bin Salim bin Hafidz menyarankannya pindah ke kota Baidhah,
salah satu wilayah pelosok bagian negeri Yaman, untuk mengajar di ribath
sekaligus berdakwah. Ini dilakukan menyusul permohonan mufti
Baidhah, Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar.
Dalam perjalanan ke sana, Habib Zain singgah dulu di kediaman seorang
teman dekatnya di wilayah Aden, Habib Salim bin Abdullah Assyatiri,
yang saat itu menjadi khatib dan imam di daerah Khaur Maksar, disana
Habib Zain tinggal beberapa saat.
Selanjutnya Habib Zain melanjutkan perjalanannya
di Baidhah, Habib Zain pun mendapat sambutan hangat dari sang
tuan rumah Habib Muhammad Al-Haddar, di sanalah untuk pertama kali ia
mengamalkan ilmunya lewat mengajar.
Habib Zain menetap lebih dari 20 tahun di Rubath Baidha’ menjadi khadam ilmu kepada para penuntutnya, beliau juga menjadi mufti dalam Mazhab Syafi’e. Setelah itu beliau berpindah ke negeri Hijaz
selama 12 tahun, Habib Zain telah bersama-sama dengan Habib Salim Assyatiri menguruskan Rubath di Madinah,Setelah itu Habib Salim telah berpindah ke Tarim Hadhramaut untuk menguruskan Rubath Tarim.
Habib Zain di Madinah diterima dengan ramah, muridnya banyak dan terus bertambah, dalam kesibukan mengajar dan usianya yang juga semakin meningkat, keinginan untuk terus menuntut ilmu tidak pernah pudar.
Beliau mendalami ilmu Usul daripada Sheikh Zay dan Al-Syanqiti Al-Maliki. Habib Zain terus menyibukkan diri menuntut dengan Al-Allamah Ahmad bin Muhammad Hamid Al-Hasani dalam ilmu bahasa dan Ushuluddin.
Habib Zain seorang yang tinggi kurus. Lidahnya basah, tidak henti berzikrullah. Beliau sentiasa menghidupkan malamnya. Di waktu pagi Habib Zain keluar bersolat Subuh di Masjid Nabawi. Beliau beriktikaf di Masjid Nabawi sehingga matahari terbit, setelah itu beliau menuju ke Rubath untuk mengajar. Majlis Rauhah setelah asar sehingga maghrib.


Minggu, 16 November 2014

RIWAYAT HIDUP SYEIKH ABU BAKAR BIN SALIM R.A.

RIWAYAT HIDUP SYEIKH ABU BAKAR BIN SALIM R.A.

“Beliaulah  tokoh ulama Islam, lautan kedermawanan, keberkahan bagi alam semesta, tempat bersandar bagi para pendatang, sosok yang berkedudukan tinggi yang telah disepakati kewalian, keimanan dan ketinggian kedudukannya.”






RIWAYAT HIDUP
As-Syeikh Abu Bakar bin Salim  R.A.
Al-Fakhrul Wujud

Beliau adalah As-Sayyid As-Syeikh Al-Kabir Al-Qutb As-Syahir Abu Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin As-Syeikh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-Segaf bin As-Syeikh Muhammad Maula Ad-Dawilah bin As-Syeikh Ali Shohibul Dark bin Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Al-Imam Ali Khola’ Qosam bin Alwi bin Al-Imam Ubaydillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Al-imam Isa Ar-Rumi bin Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Al-Husein putra dari Al-Imam Amirul Mukminin Sayyidina Ali bin Abi Thalib K.W. dan Sayyidatina Fathimah Az-Zahra R.ha.  binti Sayyidina Rasulullah S.A.W..
Beliaulah tokoh ulama Islam, lautan kedermawanan, keberkahan bagi alam semesta, tempat bersandar bagi para pendatang, sosok yang berkedudukan tinggi yang telah disepakati kewalian, keimanan dan ketinggian kedudukannya. Beliau dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut – Republik Yaman pada hari Sabtu tanggal 13 Jumadil Akhir  tahun 919 H, beliau menuntut ilmu dari guru-guru besar di masanya seperti Imam Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Ba Syaiban pengarang kitab Tiryaq, Imam Ahmad bin Alwi Ba Jahdab, Syeikh Al-Faqih As-Sufi Umar bin Abdullah Ba Mahramah, belajar padanya kitab Risalah Qusyairiyah, Al-Faqih Umar ini tidak mudah mengajar seseorang kecuali beliau ketahui keselamatannya dan kesiapannya.

Salah satu guru beliau, Syeikh Ma’ruf Ba Jamal sangat memuji dan melebihkan beliau daripada ulama lainnya bahkan mengisyaratkan secara terus terang beliaulah yang akan memegang wali Qutub zaman ini, beliau berkata: “Dialah Qutub zaman ini, pemegang kewalian yang akan Allah nampakkan melalui tangannya dakwah ini, barang siapa yang Allah panjangkan umurnya kelak akan melihat orang ini berkedudukan tinggi, mataharinya senantiasa menerangkan umat laa ilaaha illallah, tak seorangpun yang memperoleh seperti kedudukannya, dialah wali zaman ini dan khalifah dari Rasulullah S.A.W.”.
As-Syeikh Abu Bakar bin Salim menulis beberapa buku tentang tarekat dan hakikat diantaranya Mi’rajul Arwah Ilal Manhajil Idhah, Fathu Babil Mawahib wa Bughayatu Matlati Thalib, Ma’arijut Tauhid, dan Miftahus Sarair wa Kanzu Dzakhair. Beliau memiliki untaian nasehat yang indah tentang tasawwuf dan hikmah-hikmah disamping kitab syair yang tinggi tentang hakikat.



Keluhuran Aklhak dan Keutamaan As-Syeikh Abu Bakar bin Salim
Harta beliau selalu dibelanjakan untuk membiayai orang-orang fakir miskin dan tamu-tamu. Beliau sosok yang sangat lemah lembut, berakhlak mulia, sangat rendah hati dan memenuhi kebutuhan para tamunya beliau tidak segan-segan untuk turun tangan sendiri menghampiri para tamu dan menanyakan sendiri keperluan mereka serta beliau sendiri yang memasak untuk mereka. Setiap harinya beliau memberikan lebih kurang seribu potong roti kepada fakir miskin.
As-Syeikh Abu Bakar bin Salim mempunyai akhlak mulia serta seorang wali yang sangat tawadhu. Tidak pernah ada seorang pun yang melihat beliau duduk bersandar maupun bersila dalam melayani tamu ataupun dalam setiap majelisnya. Sejak 15 tahun sebelum wafatnya, di dalam berbagai majelisnya, beliau tidak pernah duduk kecualidalam posisi orang yang sedang tasyahud/iftirosy (karena ketawadhuan beliau).
Beliau sangat sangat gemarmenekuni ilmu pengetahuan dan beliau telah mengkhatamkan kitab Ihya’ Ulumudin karya Al-Imam Al-Ghazali sebanyak 40 kali serta mengkhatamkan kitab Syafi’iyah yaitu Al-Minhaj karya Al-Imam An-Nawawi sebanyak tiga kali. Diantara kebiasaan beliau adalah memberikan wejangan kepada masyarakat setelah shalat Jum’at sampai menjelang Ashar di masjid beliau.
Di awal suluknya, beliau telah melakukan ibadah dan riyadhah yang lazim dilakukan oleh kaum Sufi. Pernah selama waktu yang cukup lama beliau berpuasa dan hanya berbuka dengan kurma yang masih hijau dan pernah selama 90 hari beliau puasa dan shalat malam di lembah Yabhur. Selama 40 tahun beliau shalat Subuh di Masjid Ba’isa di kota Lisk dengan wudhu Isya’.
Setiap malam beliau berziarah ke tanah pekuburan kaum Shalihin dan para wali di Tarim dan berkeliling untuk melakukan Shalat 2 rakaat di berbagai masjid di Tarim, beliau pun mengusung ghirbah (tempat air) untuk mengisi tempat wudhu serta tempat minum bagi para peziarah dan juga kolam untuk tempat minum hewan selama 40 tahun dengan berjalan kaki, kemudian beliau mengakhiri perjalanannya dengan shalat Subuh berjama’ah di Masjid Ba’isa. Sepanjang hidup beliau berziarah ke makam Nabi Allah Hud A.S. sebanyak 40 kali (riwayat lain mengatakan 70 kali). Sampai akhir hayatnya beliau tidak pernah meninggalkan shalat Witir dan Dhuha.
Beliau sangatlah banyak memiliki kekeramatan yang sangat besar dan sangat luar biasa. Diantara keistimewaan beliau adalah beliau pernah berkumpul secara nyata dengan Nabi Allah Al-Khidir dan Ilyas A.S., beliau dapat menyingkap secara bathin hal-hal ghaib dan lintasan hati manusia. Tampak pada beliau kekeramatan yang luar biasa, tetapi sengaja tidak disebutkan disini hanya untuk mempersingkat, beliau pernah berkata: “Penjuru bumi ini ibarat piring yang ada di hadapanku”.

Putra-putri As-Syeikh Abu Bakar bin Salim
Beliau memiliki 17 anak, 4 anak perempuan dan 13 laki-laki. Anak beliau yang perempuan yaitu: As-Syarifah Fathimah, As-Syarifah ‘Aisyah, As-Syarifah Alwiyah, dan As-Syarifah Thalhah.
Anak beliau yang laki-laki yaitu: As-Sayyid ‘Abdurrahman, As-Sayyid Ja’far, As-Sayyid ‘Abdullah Al-Akbar, As-Sayyid Salim, As-Sayyid Al-Husein, As-Sayyid Al-Hamid, As-Sayyid ‘Umar Al-Mahdhar, As-Sayyid Hassan, As-Sayyid Ahmad, As-Sayyid Shaleh, As-Sayyid ‘Ali, As-Sayyid Syekhan, dan As-Sayyid ‘Abdullah Al-Asghar.


Qubah Syeikh Abu Bakar bin Salim
Beliau meninggal dunia pada malam Minggu sekitar tanggal 27 Dzulhijah tahun 992 H, makam beliau di tengah kota Inat – sekitar 20 kilometer dari kota Tarim – dan dibangunkan Qubah yang besar.
Selang beberapa waktu setelah wafatnya Syeikh Abubakar bin Salim, berkumpullah anak-anak beliau untuk mencari dan memilih siapa diantara mereka yang akan menjadi khalifah menggantikan ayah mereka. Mereka berkumpul di suatu Syi’ib, dan barang siapa mendapat tanda dari Allah SWT, maka dialah yang dipilih sebagai khalifah. Ternyata yang mendapatkan tanda adalah Sayyidina Husein bin Syeikh Abubakar. Ia mendapatkan langsung satu bejana yang berisi air turun dari langit. Maka anak-anak Syeikh Abubakar bin Salim pun meminum daripada bejana tersebut dan mereka berkata kepada Sayyidina Husein, ”Engkaulah yang berhak menjadi khalifah”.

Pada riwayat yang lain, diceritakan oleh Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi, “Tatkala Syeikh Abubakar bin Salim wafat, maka setiap anak-anak daripada Syeikh Abubakar bin Salim menginginkan menjadi khalifah menggantikan ayahanda mereka. Maka ibunda mereka berkata, “Kalian semuanya mempunyai keberkahan, akan tetapi siapa yang keramatnya terlihat maka ia akan menjadi khalifah”. Maka anak-anak Syeikh Abubakar bin Salim pergi ke Wadi Inat. Dan mereka membentangkan sajadah masing-masing ditengah Wadi Inat, lalu melakukan shalat serta bermunajah kepada Allah SWT. Tak lama kemudian turun kepada Syeikh Umar Al-Mahdhar bejana dan rantai emas dari langit. Maka Syeikh Umar memanggil saudara-saudaranya, “Apakah kalian mendapatkan sesuatu?”. Mereka menjawab “Tidak”. Maka merekapun menyerahkan kekhalifahan kepada Syeikh Umar, namun kekhalifahan diserahkan dan dipegang oleh Sayyidina Husin. Beliau berkomentar mengenai saudaranya Syeikh Umar Al-Mahdhar. “Sesungguhnya aku bersahabat dengan saudaraku Umar Al-Mahdhar dan aku tidak merasa sebagai saudaranya, akan tetapi aku merasa dan menempatkan diriku sebagai pembantu dan murid baginya”.

Karya-karya Syeikh Abu Bakar bin Salim R.A
• Miftah As-sara’ir wa kanz Adz-Dzakha’ir. Kitab ini beliau karang sebelum usianya melampaui 17 tahun.
• Mi’raj Al-Arwah membahas ilmu hakikat. Beliau memulai menulis buku ini pada tahun 987 H dan menyelesaikannya pada tahun 989 H.
• Fath Bab Al-Mawahib yang juga mendiskusikan masalah-masalah ilmu hakikat. Dia memulainya di bulan Syawwal tahun 991 H dan dirampungkan dalam tahun yang sama tangal 9 bulan Dzul-Hijjah.
• Ma’arij At-Tawhid
• Dan sebuah diwan yang berisi pengalaman pada awal mula perjalanan spiritualnya.


Kata Mutiara dan Untaian Hikmah
Beliau memiliki banyak kata mutiara dan untaian hikmah yang terkenal, antara lain:

  • Pertama:
Paling bernilainya saat-saat dalam hidup adalah ketika kamu tidak lagi menemukan dirimu. Sebaliknya adalah ketika kamu masih menemukan dirimu. Ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa engkau takkan mencapai Allah sampai kau fanakan dirimu dan kau hapuskan inderamu. Barang siapa yang mengenal dirinya (dalam keadaan tak memiliki apa pun juga), tidak akan melihat kecuali Allah; dan barang siapa tidak mengenal dirinya (sebagai tidak memiliki suatu apapun) maka tidak akan melihat Allah. Karena segala tempat hanya untuk mengalirkan apa yang di dalamnya.

  • Kedua:
Ungkapan beliau untuk menyuruh orang bergiat dan tidak menyia-nyiakan waktu: ”Siapa yang tidak gigih di awal (bidayat) tidak akan sampai garis akhir (nihayat). Dan orang yang tidak bersungguh-sungguh (mujahadat), takkan mencapai kebenaran (musyahadat). Allah SWT berfirman: ”Barangsiapa yang berjuang di jalan Kami, maka akan Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami”. Siapa pun yang tidak menghemat dan menjaga awqat (waktu-waktu) tidak akan selamat dari malapetaka. Orang-orang yang telah melakukan kesalahan, maka layak mendapat siksaan.

Ketiga:
Tentang persahabatan: ”Siapa yang bergaul bersama orang baik-baik, dia layak mendapatkan makrifat dan rahasia (sirr). Dan mereka yang bergaul dengan para pendosa dan orang bejat, akan berhak mendapat hina dan api neraka”.

  • Keempat:
Penafsirannya atas sabda Rasul s.a.w: ”Aku tidaklah separti kalian. Aku selalu dalam naungan Tuhanku yang memberiku makan dan minum”. Makanan dan minuman itu, menurutnya, bersifat spiritual yang datang datang dari haribaan Yang Maha Suci”.

  • Kelima:
Engkau tidak akan mendapatkan berbagai hakikat, jika kamu belum meninggalkan benda-benda yang kau cintai (’Ala’iq). Orang yang rela dengan pemberian Allah (qana\\\’ah), akan mendapat ketenteraman dan keselamatan. Sebaliknya, orang yang tamak, akan menjadi hina dan menyesal. Orang arif adalah orang yang memandang aib-aib dirinya. Sedangkan orang lalai adalah orang yang menyoroti aib-aib orang lain. Banyaklah diam maka kamu akan selamat. Orang yang banyak bicara akan banyak menyesal.

  • Keenam:
Benamkanlah wujudmu dalam Wujud-Nya. Hapuskanlah penglihatanmu, (dan gunakanlah) Penglihatan-Nya. Setelah semua itu, bersiaplah mendapat janji-Nya. Ambillah dari ilmu apa yang berguna, manakala engkau mendengarkanku. Resapilah, maka kamu akan meliht ucapan-ucapanku dalam keadaan terang-benderang. Insya-Allah….! Mengartilah bahwa Tuhan itu tertampakkan dalam qalbu para wali-Nya yang arif. Itu karena mereka lenyap dari selain-Nya, raib dari pandangan alam-raya melalui Kebenderangan-Nya. Di pagi dan sore hari, mereka menjadi orang-orang yang taat dalam suluk, takut dan berharap, ruku’ dan sujud, riang dan digembirakan (dengan berita gembira), dan rela akan qadha’ dan qadar-Nya. Mereka tidak berikhtiar untuk mendapat sesuatu kecuali apa-apa yang telah ditetapkan Tuhan untuk mereka”.

  • Ketujuh:
Orang yang bahagia adalah orang yang dibahagiakan Allah tanpa sebab (sebab efisien yang terdekat, melainkan murni anugerah fadhl dari Allah). Ini dalam bahasa Hakikat. Adapun dalam bahasa Syari’at, orang bahagia adalah orang yang Allah bahagiakan mereka dengan amal-amal saleh. Sedang orang yang celaka, adalah orang yang Allah celakakan mereka dengan meninggalkan amal-amal saleh serta merusak Syariat – kami berharap ampunan dan pengampunan dari Allah.

  •  Kedelapan:
Orang celaka adalah yang mengikuti diri dan hawa nafsunya. Dan orang yang bahagia adalah orang yang menentang diri dan hawa nafsunya, minggat dari bumi menuju Tuhannya, dan selalu menjalankan sunnah-sunnah Nabi s.a.w.

  • Kesembilan:
Rendah-hatilah dan jangan bersikap congkak dan angkuh.

  • Kesepuluh:
Kemenanganmu teletak pada pengekangan diri dan sebaliknya kehancuranmu terletak pada pengumbaran diri. Kekanglah dia dan jangan kau umbar, maka engkau pasti akan menang (dalam melawan diri) dan selamat, Insya-Allah. Orang bijak adalah orang yang mengenal dirinya sedangkan orang jahil adalah orang yang tidak mengenal dirinya. Betapa mudah bagi para ’arif billah untuk membimbing orang jahil. Karena, kebahagiaan abadi dapat diperoleh dengan selayang pandang. Demikian pula tirai-tirai hakikat menyelubungi hati dengan hanya sekali memandang selain-Nya. Padahal Hakikat itu juga jelas tidak terhalang sehelai hijab pun. Relakan dirimu dengan apa yang telah Allah tetapkan padamu.

  • Kesebelas:
Semoga Allah memberimu taufik atas apa yang Dia ingini dan redhai. Tetapkanlah berserah diri kepada Allah. Teguhlah dalam menjalankan tata cara mengikut apa yang dilarang dan diperintahkan Rasul s.a.w. Berbaik prasangkalah kepada hamba-hamba Allah. Karena prasangka buruk itu berarti tiada taufik. Teruslah rela dengan qadha’ walaupun musibah besar menimpamu. Tanamkanlah kesabaran yang indah (Ash-Shabr Al-Jamil) dalam dirimu. Allah berfirman: ”Sesungguhnya Allah mengganjar orang-orang yang sabar itu tanpa perhitungan. Tinggalkanlah apa yang tidak menyangkut dirimu dan perketatlah penjagaan terhadap dirimu”.

  • Keduabelas:
Dunia ini putra akhirat. Oleh karena itu, siapa yang telah menikahi (dunia), haramlah atasnya si ibu (akhirat).

Masih banyak lagi ucapan beliau r.a. yang lain yang sangat bernilai.

Kamis, 13 November 2014

Thariqah ‘Alawiyyah

                                     Thariqah ‘Alawiyyah

Thariqah Keluarga Bani ‘Alawiy

Sekilas tentang Thariqah ‘Alawiyyah

Thariqah Alawiyyah adalah suatu thariqah yang ditempuh oleh para salafus sholeh. Dalam thariqah ini, mereka mengajarkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah kepada masyarakat, dan sekaligus memberikan suri tauladan dalam pengamalan ilmu dengan keluhuran akhlak dan kesungguhan hati dalam menjalankan syariah Rasullullah SAW.
Penjelasan di atas dinukil dari buku Qutil Qulub, karya Abul Qosim Al-Qusyairy, dan dari beberapa kitab lain.
Mereka menerangkan dengan terinci, bahwa thariqah As-Saadah Bani Alawy ini diwariskan secara turun temurun oleh leluhur (salaf) mereka : dari kakek kepada kepada ayah, kemudian kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Demikian seterusnya mereka menyampaikan thariqah ini kepada anak cucu mereka sampai saat ini. Oleh karenanya, thariqah ini dikenal sebagai thariqah yang langgeng sebab penyampaiannya dilakukan secara ikhlas dan dari hati ke hati.
Dari situlah dapat diketahui, bahwasanya thariqah ini berjalan di atas rel Al-Kitab dan As-Sunnah yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Jelasnya, Thariqah Alawiyyah ini menitik-beratkan pada keseimbangan antara ibadah mahdhah, yaitu muamalah dengan Khaliq, dengan ibadah ghoiru mahdhah, yakni muamalah dengan sesama manusia yang dikuatkan dengan adanya majlis-majlis ta’lim yang mengajarkan ilmu dan adab serta majlis-majlis dzikir dan adab. Dengan kata lain, thariqah ini mencakup hubungan vertikal (hubungan makhluk dengan Khaliqnya) dan hubungan horizontal (antara sesama manusia).

Selain itu, thariqah ini mengajarkan kepada kita untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menuntut ilmu guna menegakkan agama Allah (Al-Islam) di muka bumi. Sebagaimana diceritakan, bahwa sebagian dari As-Saadah Bani Alawy pergi ke tempat-tempat yang jauh untuk belajar ilmu dan akhlak dari para ulama, sehingga tidak sedikit dari mereka yang menjadi ulama besar dan panutan umat di jamannya. Banyak pula dari mereka yang mengorbankan jiwa dan raga untuk berdakwah di jalan Allah, mengajarkan ilmu syariat dan bidang ilmu agama lainnya dengan penuh kesabaran, baik di kota maupun di pelosok pedesaan. Berkat berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, disertai kesungguhan dan keluhuran akhlak dari para pendiri dan penerusnya, thariqah ini mampu mengatasi tantangan jaman dan tetap eksis sampai saat ini.

[Diambil dari Al-'Alam An-Nibros, karya Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas, hal. 1-5, penerbit 'Isa Al-Khalabi Mesir]



Thariqah Saadah Bani ‘Alawiy

Al-Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad Bilfaqih Ba’alawi pernah ditanya, “Apa dan bagaimana thariqah Saadah Aal Abi ‘Alawi (keluarga Bani Alawy) itu?. Apakah cukup didefinisikan dengan ittibâ’ (mengikuti) Quran dan sunah?. Apakah terdapat pertentangan di antara mereka?. Apakah thariqah mereka bertentangan dengan thariqah-thariqah yang lain?.”

Beliau pun menyampaikan jawabannya sebagai berikut :
“Ketahuilah, sesungguhnya thariqah Saadah Aal Abi ‘Alawi merupakan salah satu thariqah kaum sufi yang asasnya adalah ittibâ’ (mengikuti) Quran dan sunah, pokoknya adalah sidqul iftiqôr (benar-benar merasa butuh kepada Allah) dan syuhûdul minnah (menyaksikan bahwa semuanya merupakan karunia Allah). Thariqah ini mengikuti ittiba’ manshûsh dengan cara khusus dan menyempurnakan semua dasar (ushûl) untuk mempercepat wushûl.
Melihat hal ini, maka thariqah Saadah Aal Abi ‘Alawi lebih dari sekedar mengikuti Quran dan Sunah secara umum dengan mempelajari hukum-hukum dhohir. Pokok bahasan ilmu ini sifatnya umum dan universal, sebab tujuannya adalah untuk menyusun aturan yang mengikat orang-orang bodoh dan kaum awam lainnya. Tidak diragukan bahwa kedudukan manusia dalam beragama berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan ilmu khusus untuk orang khusus, yakni ilmu yang menjadi pusat perhatian kaum khowwash, ilmu yang membahas hakikat takwa dan perwujudan ikhlas.
Demikian itulah jalan lurus (shirôthol mustaqim) yang lebih tipis dari sehelai rambut. Ilmu itu tidak cukup disampaikan secara umum, bahkan setiap bagian darinya perlu didefinisikan secara khusus. Demikian itulah ilmu tasawuf, ilmu yang oleh kaum sufi digunakan untuk berjalan menuju Allah Ta’ala. Dhohir jalan kaum sufi adalah ilmu dan amal, sedangkan batinnya adalah kesungguhan (sidq) dalam bertawajjuh kepada Allah Ta’ala dengan mengamalkan segala sesuatu yang diridhoi-Nya dengan cara yang diridhoi-Nya. Jalan ini menghimpun semua akhlak luhur dan mulia, mencegah dari semua sifat hina dan tercela. Puncaknya memperoleh kedekatan dengan Allah dan fath. Jalan ini (mengajarkan seseorang) untuk bersifat (dengan sifat-sifat mulia) dan beramal saleh, serta mewujudkan tahqiq, asrôr, maqômât dan ahwâl. Jalan ini diterima oleh orang-orang yang saleh dari kaum sholihin dengan pengamalan, dzauq dan perbuatan, sesuai fath, kemurahan dan karunia yang diberikan Allah, sebagaimana syairku dalam Ar-Rasyafaat.”

[Diambil dari 'Iqdul Yawaaqiitul Jauhariyyah, Al-Habib Idrus bin Umar AlHabsyi]



Intisari Thariqah ‘Alawiyyah

Kalam Al-Habib Muhammad bin Husin bin Ali Ba’bud
Sesungguhnya asas thariqah para salafunas sholihin dari Bani Alawy yaitu adalah Al-Kitab dan As-Sunnah, dan yang menjadi bukti tentang itu semua adalah perjalanan hidup mereka yang diridhoi oleh Allah dan hal ihwal mereka yang terpuji. Secara garis besar, thariqah mereka itu adalah sebagai berikut :

Menjaga waktu-waktu yang diberikan Allah dan memanfaatkan waktu tersebut untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Selalu terikat dan hadir dalam majlis-majlis ilmu dan majlis yang bersifat dapat mengingatkan diri kepada Allah.
Berakhlak dengan adab-adab yang baik, menjauhi ketenaran, meninggalkan hal-hal yang tidak berguna, dan menghilangkan semua atribut kecuali atribut kebaikan.

Membiasakan diri dalam membaca dzikir terutama dzikir-dzikir Nabawiyyah sesuai dengan batas kemampuannya, seperti amalan-amalan dzikir yang disusun oleh Al-Imam Abdullah bin Alwi Alhaddad.

Ziarah kepada para ulama dan auliya baik yang masih hidup ataupun yang telah meninggal, selalu ingin bermaksud menghadiri perkumpulan-perkumpulan yang penuh dengan dzikir khususnya yang mengandung unsur mengingatkan diri kepada Allah, dan menghadirinya dengan penuh rasa husnudz dzon (berbaik sangka), dengan syarat bahwa perkumpulan-perkumpulan tersebut bebas dari perbuatan-perbuatan mungkar yang dipandang oleh agama.

[Diambil dari Nafaaisul 'Uquud fii Syajaroh Aal Ba'bud, karya Al-Habib Muhammad bin Husin bin Ali Ba'bud, hal. 15, manuskrip]


Dimanakah para salaf Bani Alawy berjalan?

Kitab Ar-Risalah Al-Muawanah, karangan Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad.
Di dalam buku tersebut, Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad berkata :

“Hendaklah kamu selalu membaikkan dan meluruskan aqidah dengan mengikuti kelompok yang selamat, yang dikenal diantara berbagai kelompok Islam sebagai Ahlu Sunnah wal Jamaah, yang berpegang teguh pada teladan Rasulullah serta para Sahabatnya.”

Buku Aqidah Ahli Sunnah Wal Jamaah, yang dibiayai oleh Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Muhammad Assegaf Gresik untuk disebarkan.
Pada cover depan buku tersebut, Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad berkata dalam suatu syairnya yang berbunyi :
“Jadikankanlah Asy’ariyyah sebagai aqidahmu…”
(Asy’ariyyah adalah salah satu dari 2 aliran aqidah dalam Ahli Sunnah wal Jamaah, disamping Maturidiyyah)
Kitab ‘Uquudul Almas, karangan Al-Habib Alwi bin Thohir Alhaddad Mufti Johor, hal. 89.

Di dalam buku tersebut, Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad berkata :
“Hendaklah kamu membentengi aqidahmu dan memperbaiki pondasinya di atas jalan kelompok yang selamat, yang dikenal diantara seluruh firqoh-firqoh Islam yaitu kelompok Ahlu Sunnah wal Jamaah, yang berpegang teguh dengan apa-apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat beliau.”

Kitab Majmu’ Kalam Al-Imam Abdulah bin Husin Bin Thohir Ba’alawy, karangan Al-Imam Abdulah bin Husin Bin Thohir Ba’alawy, hal. 105.

Di dalam kitab tersebut, Al-Imam Abdulah bin Husin Bin Thohir Ba’alawy berkata :
“Sesungguhnya itulah jalan yang ditempuh oleh sebagian besar para Tabi’in dengan mengikuti jalan para Sahabat, begitu juga hal ini diikuti oleh Tabi’ Tabi’in seperti Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Malik, Al-Imam Abu Hanifah, dan juga diikuti oleh orang-orang yang berjalan diatas jalan mereka, dan seperti para Saadah kita. Maka Itulah mereka yang disebut Sawaadhul A’dhom dan golongan yang selamat. Karena mereka berjalan diatas apa-apa yang telah dijalankan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat beliau dengan sebaik-baiknya aqidah dan suluk diatas jalan kebenaran dan petunjuk dengan tanpa mengecam salah seorang pun dari para Sahabat dan tidak juga mengundat (mencaci/melaknat) mereka…”

Kitab Al-’Iqdul Yawaaqit Al-Jauhariyyah, karangan Al-Habib Idrus bin Umar Alhabsyi, juz 1, hal. 28.

Di dalam buku tersebut, Al-Imam Idrus bin Umar Alhabsyi berkata :
“…Maka menjadi sucilah lembah itu (Hadramaut) berkat adanya Al-Fagih Al-Muqoddam. Beliau senantia
sa membangun pondasi ketakwaan di masjid yang ada di lembah itu, sehingga semakin tampaklah disana aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah…”
Kitab Al-Maslak Al-Qorib, karangan Al-Imam Thohir bin Husin Bin Thohir Ba’alawy, pada bagian akhir.

Di dalam buku tersebut, Al-Imam Thohir bin Husin Bin Thohir Ba’alawy berkata :
“Sesungguhnya thariqah Alawiyah adalah suatu thariqah dari golongan sufi yang berdasarkan atas aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber dari para Sahabat yang mulia, Tabi’in dan para pengikut Tabi’in yang utama…”
(Hal senada diatas juga telah diungkapkan oleh Al-Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz dalam kitabnya Khulasoh Al-Madad An-Nabawi, hal. 26)
Kitab Tadzkiirun Naas, karangan Al-Habib Hasan bin Ahmad Al-Atthas, hal. 24.

Di dalam buku tersebut, Al-Habib Hasan bin Ahmad Al-Atthas berkata :
“Para salaf kita Alawiyyin mengikuti madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i dalam sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan hukum-hukum Islam, masalah ibadah dan muamalah, dan permasalahan-permalasahan figih.”
Kitab Al-’Alam An-Nibros, karangan Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas, penerbit ‘Isa Al-Khalabi Mesir.

1. Di dalam buku tersebut, hal. 6-8, Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas berkata :
“…Dalam segi akidah, mereka tidak menyimpang walau seujung kaki semut pun dari akidah Asy’ariyyah/Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan bermadzhabkan Syafi’i…”
2. Di dalam buku tersebut, hal. 10-15, Al-Imam Abdulah bin Alwi Al-Atthas berkata :
“…Mereka itulah yang dikatakan sebagai golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dikategorikan pada golongan yang selamat bersama Nabi SAW…”
Kitab Maulud Simtud Duror, Al-Habib Al-Qutub Ali bin Muhammad Alhabsyi, pada bagian syair.
Dalam syairnya, beliau berkata :
“Ya Allah, berilah kekuatan pada kami untuk berjalan diatas jalan yang benar, yaitu diatas jalan Nabi dan jalan yang ditempuh Saadah Syadziliyyah.”
Dalam riwayat lain ditulis dengan :
“…dan jalan yang ditempuh Saadah Alawiyyah.”
(Dua-duanya, baik Thariqah Syadziliyyah ataupun Alawiyyah berada dalam koridor Ahli Sunnah wal Jamaah)
Kitab Al-Bidh’ah Al-Muhammadiyyah, Al-Ustadz Alwi bin Muhammad Bilfagih, hal. 137-140, dalam bab Madzhab Al-Imam Al-Muhajir.

Di dalam buku tersebut, Ustadz Alwi menuliskan :
“Sungguh teranglah bahwa madzhab Al-Imam Al-Muhajir adalah madzhab Asy-Syafi’i dan tidak berseberangan dengan jalan yang ditempuh oleh para datuknya. Menurut sumber-sumber sejarah di masa itu dikatakan bahwa beliau menganut madzhab Imamiyyah. Akan tetapi menurut sumber-sumber yang lebih dapat terpercaya, pendapat tersebut tidak dapat diterima. Apalagi ada bukti yang lebih kuat bahwa putera beliau Abdulloh (terkenal dengan Ubaidillah) berguru kepada Abu Thalib Al-Makki yang menganut faham Ahli Sunnah. Bagaimana mungkin Al-Imam Al-Muhajir dikatakan bukan menganut madzhab Asy-Syafi’i, padahal beliau adalah orang pertama yang menyebarkan atau memasukkan madzhab Syafi’i ke Hadramaut setibanya beliau disana.”


Menyingkap sifat-sifat aimmah Thariqah Alawiyyah


Kalam Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas

Mereka salafunas sholeh lebih cenderung kepada merendahkan diri dengan hidup sederhana dan mereka puas dengan hal itu, padahal mereka adalah para aimmah (pemimpin) keluarga Bani Alawy. Mereka sebagai pemimpin thariqah ini lebih menyukai untuk mengorbankan diri mereka sendiri demi kepentingan orang lain sekalipun mereka mempunyai kebutuhan yang mendesak.

Telah berkata salah seorang ulama dari salafunas sholeh tentang keluarga Bani Alawy, “Banyak dari mereka yang menjadi ulama-ulama besar dan iImam sebagai panutan umat di jamannya. Sehingga tidak sedikit di antara mereka yang kita kenal sebagai seorang Wali Allah yang mempunyai karomah. Hati mereka itu tenggelam dalam lembah cinta kepada Allah SWT. Disamping itu mereka mempunyai perhatian yang besar sekali terhadap kitab-kitab karangan Al-Imam Al-Ghazaly, terutama kitab Ihya’, Al-Basith, Al-Wasith dan Al-Wajiz. Lagipula tidak jarang dari mereka yang mencapai derajat Al-Huffadz (orang yang banyak menghafal hadits-hadits Nabi SAW).”

Kalau kita teliti sejarah mereka, setiap orang dari aslafunas sholihin berkhidmat kepada orang-orang, makan bersama orang-orang miskin dan anak-anak yatim piatu. Bahkan mereka memikul hajat orang-orang miskin dari pasar, berjabat tangan kepada orang yang kaya dan yang miskin, para pejabat dan rakyat jelata. Oleh karenanya, berkata Al-Imam Abdullah bin Alwi Alhaddad, “Barang siapa yang melihat salah seorang dari mereka, begitu menatap pandangannya kepada mereka, pasti akan merasa kagum akan keanggunan budi pekerti mereka.” Telah diuraikan oleh salah seorang ulama terkenal yaitu Al-Imam Ahmad bin Zain Alhabsyi bahwa dalam diri mereka keluarga Bani Alawy terdapat ilmu dhohir dan batin.

Dalam segi akidah, mereka tidak menyimpang walau seujung kaki semut pun dari akidah Asy’ariyyah/Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan bermadzhabkan Syafi’i. Mereka tidak terpengaruh oleh beraneka ragam bid’ah dan kerawanan lilitan harta duniawi. Itulah sebagian daripada sifat-sifat aimmah Bani Alawy dan masih banyak lagi sifat-sifat mereka jika kita mau meninjau jejak mereka dan menyingkap lembaran hidup mereka.
[Diambil dari Al-'Alam An-Nibros, karya Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas, hal. 6-8, penerbit 'Isa Al-Khalabi Mesir]



Tanggung jawab para orangtua ‘Alawiyyin

Kalam Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas

1. Menjaga putra-putri alawiyyin khususnya dan para generasi muda umumnya dari sifat-sifat ambisi untuk mencari pengaruh dan pangkat/kedudukan yang di puja-puji oleh semua orang. Sebagaimana sikap Nabi SAW terhadap para sahabatnya seakan-akan seperti ayah mereka, beliau SAW tidak takut akan kemiskinan yang bersifat duniawi yang akan menimpa mereka.

Telah berkata Ath-Thiby ra., “Seorang ayah yang materialis (cinta kepada harta-harta duniawi) khawatir apabila anaknya ditimpa miskin harta. Sedangkan ayah yang religius (yang kuat pendidikan moral dan agamanya) khawatir apabila anaknya miskin akan ilmu-ilmu agama.”

Sebagaimana hadits Nabi SAW yang diriwayatkan dari Abi Hurairah ra. :
“Celakalah penyembah dinar dan dirham serta penyembah karpet dan selimut. Bila ia diberi, rela dan senang, dan jika tidak ia diberi, tidak senang (benci).”

Telah berkata seorang ulama besar di jamannya Hamdun Al-Qoshshor,
“Jika berkumpul iblis dan bala tentaranya, mereka tidak gembira pada suatu hal seperti kegembiraan mereka akan tiga perkara berikut :
Orang mukmin membunuh seorang mukmin.
Orang yang mati diatas kekafiran.
Orang yang hatinya ada rasa takut kepada kemiskinan harta.


2. Menjaga putra-putri ‘Alawiyyin dari akidah-akidah yang bejat dan rusak serta melarang mereka untuk memperbincangkan apa-apa yang terjadi di antara para sahabat (rodhiyalloohu ‘anhum ajma’iin). Mereka bahkan mendambakan putra-putrinya untuk berpegang teguh dengan apa yang ada dalam kitab Ihya’, sebagaimana mereka telah mengamalkan apa yang ada di dalam kitab tersebut. Sehingga berkata Al-Habib Abdurrahman Assegaf ra. :

“Barang siapa yang tidak menelaah kitab Ihya’, maka tidak ada pada dirinya rasa malu.”
[Diambil dari kitab Al-'Alam An-Nibroos, karangan Al-Imam Abdullah bin Alawi Al-Atthas, hal 15-20]



Anjuran kepada putra-putri ‘Alawiyyin

ra leluhur yang saleh dan mulia, kita akan dibimbing kepada jalan yang penuh petunjuk dari Allah SWT. Berkata Al-Imam Asy-Syeikh Abdullah bin Ahmad Basaudan RA di dalam kitabnya Al-Futuuhah Al-Arsyiah, setelah menyebutkan beberapa kitab yang terkarang dimana disana disebutkan riwayat hidup para Saadah. Beliau berkata, “Pintasilah jalan yang penuh cahaya sebagaimana yang telah dipaparkan dalam kitab Ihya Ulumiddin, supaya anda tergolong dari orang-orang yang punya rasa malu, dan pintasilah jalan hidayat dengan mengamalkan apa yang ada didalam kitab Bidayatul Hidayah.”

Berkata Sayyiduna Al-Imam Muhammad bin Ahmad bin Ja’far bin Ahmad bin Zein Alhabsyi, “Qodho (ketetapan) itu tidak dapat dipungkiri, dan syariat harus diikuti tanpa dikurangi dan ditambahi. Para imam kita keluarga Bani Alawy telah melintasi jalur yang mulus dan jalan yang lurus. Barangsiapa yang mencari aliran baru untuk dirinya sendiri atau untuk putra-putrrinya dengan cara tidak menempuh di jalan para datuk-datuknya yang saleh dan mulia, maka pada akhir umurnya ia akan menemui kekecewaan dan kebinasaan.”

Mereka itulah yang dikatakan sebagai golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dikategorikan pada golongan yang selamat bersama Nabi SAW. Mereka itulah orang-orang yang bakal mendapat syafaat beliau SAW.
Berkata Sayyiduna Al-Imam Al-Ahqof As-Sayyid Umar bin Saggaf Assaggaf kepada anaknya, “Aku berpesan kepadamu, hendaklah kau bersungguh-sungguh mengikuti perjalanan para Salafuna As-sholeh dari Ahlul Bait An-Nabawy, terlebih-lebih dari keluarga Bani Alawy. Bersungguh – sungguhlah dan bergiatlah dalam mengikuti perjalanan mereka niscaya kau akan sukses.”
[Diambil dari Al-'Alam An-Nibros, karya Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas, hal. 10-15, penerbit 'Isa Al-Khalabi Mesir]